Oleh: Jeby Fhahira (Mahasiswa Prodi S1 Hukum Pidana Universitas Bangka Belitung)
Pada tanggal 2 Januari 2026 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP akan berlaku dan beriringan dengan tidak berlakunya lagi KUHP WvS (Wetboek van Strafrecht). Artinya terhitung mundur masih sisa satu bulan menuju Januari 2026. Melatar belakangi pembaruan ini. Sejatinya suatu negara harus mengimbangi 3 (tiga) hal utama dalam menerapkan hukum yaitu mengiringi perkembangan Masyarakat, nilai-nilai dan perkembangan zaman. Dimana mengiringi perkembangan masyarakat artinya hukum harus mengikuti dan bersedia diperbarui seiring berubahnya pola keperluan Masyarakat. Kemudian hukum harus sejalan dengan nilai-nilai yang dianut suatu bangsa dan terakhir perkembangan zaman, bahwa hukum tidak boleh terlambat memahami pola modernisasi karena akan berpotensi ketidakseimbangan terhadap aplikasi hukum itu sendiri.
Mengutip Barda Nawawi Arief, pembaruan hukum harus seiringan dengan sistem hukum nasional suatu negara dengan demikian sistem hukum nasional Indonesia adalah Pancasila. Yang menurutnya harus beorientasi pada tiga hal, diantaranya: Ketuhanan (moral Agama); kemanusiaan (humanistic); dan kemasyarakatan (nasionalistic, demokratis dan keadilan sosial.
Tujuan dari pembaruan hukum Indonesia adalah untuk menyesuaikan dengan pola Masyarakat saat ini dan kebutuhan serta isi dari peraturan sebelumnya sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan ketertiban bangsa. Selain itu pembaruan hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari cita melepas belenggu bayang-bayang kolonialisme, dengan diciptakan peraturan baru yang sesuai dengan nilai bangsa harapannya bisa mengusahakan dari pada dekolonialisasi dan rekodifikasi atas peraturan KUHP WvS. Bukan hanya bersifat frakmentasi atau menurut Faisal bukan bentuk tambal sulam. Reformasi peraturan perundang-undangan melalui yudikatif ini terlepas dari kontroversi yang ada. Merupakan upaya seperti yang Barda maksud sebagai upaya untuk memformulasikan nilai sebagai perwujudan dari nilai (ide dasar/konsepsi berpikir). Dan dalam pembaruan/Pembangunan hukum tidak terlepas dari:
- Perkembangan/Pembangunan Masyarakat yang berkelanjutan;
- Perkembangan yang berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah; dan
- Perkembangan ide dasar/ konsepsi intelektual.
Pembaruan hukum ini merupakan bagian dari salah satu dari tiga komponen sistem hukum. yaitu Substansi Hukum (legal Substance). Artinya dengan adanya pembaruan pula menandakan adanya seperangkat aturan yang tersusun sebagai substansi berupa norma dalam suatu regulasi.
Berkaitan dengan kontroversi yang disinggung di atas adalah berkenaan dengan bentuk pemanfaatan atau peluang penyalahgunaan kewenangan dalam merumuskan aturan yang memihak padanya atau kelompok elita yang dianggap Masyarakat sebagai perbuatan yang menentang nilai moral dan citra lembaga sebagai pemegang kuasa dalam merumuskan suatu aturan baru yang netral dan berkerakyatan.
Meskipun konsep keadilan adalah tidak pernah memihak yang mana sudikno mengatakannya bahwa keadilan cenderung bersifat tidak sinkron yaitu terlalu subjektif, individual dan tidak menyamaratakan. Dengan contoh seorang ibu memberi uang jajan kakak lebih banyak dari adik dikarenakan kakak lebih banyak keperluan yang harus dipenuhi.
Tetapi terlepas dari kontroversial tersebut, selayaknya kita patut untuk mengapresiasi upaya pemerintah dalam mereformasi/memperbarui hukum pidana Indonesia menuju hukum pidana yang berlandaskan pada norma Pancasila sebagai nilai yang dicita-citakan. Cara yang tepat sebagai Masyarakat untuk menghadapi pelaksanaan UU ini nantinya pada 2 Januari 2026 adalah bersama-sama dalam mengawasi dan meluangkan pikiran dan hati untuk bersama berpartisipasi dalam kemajuan hukum Indonesia khususnya hukum pidana.






